Ketika seseorang mati di dalam mimpimu, ke manakah ia akan pergi? Apakah ia akan pergi ke kehidupan selanjutnya, ataukah ia akan hilang menguap bersama ingatan dan kesadaranmu? Pertanyaan konyol itu tak pernah terlintas dalam benakku, kecuali setiap kali aku pulang ke kota ini dan menemukan Nurul Romayani sedang duduk di halaman rumahnya, terkadang sambil melamun, terkadang sambil menyisir rambutnya yang hitam panjang.

Nurul Romayani adalah seorang gadis dari tempat yang sangat jauh. Sejak datang ke sini, ia pernah dibawa ke rumah sakit jiwa meski kemudian melarikan diri. Setelah berkali-kali mencoba menangkapnya, mereka menyerah dan membiarkan Nurul tinggal di rumah orangtuanya. Untunglah, selain menjadi bahan ejekan anak-anak, ia tak pernah membuat onar apalagi menyerang orang. Ia tidak seperti orang gila lain yang berkeliaran sambil setengah telanjang dan menertawai setiap orang yang ia temui. Kalau pun ia keluar rumah, ia akan mengenakan pakaian yang bersih dan rapi, bahkan sering kali dengan make up yang cantik. Bila berpapasan dengan orang lain, ia akan melihat wajah orang itu selama beberapa detik, lalu kembali menunduk malu, menyadari bahwa orang tersebut bukanlah kekasihnya yang ia cari.

Awalnya aku mengenal Nurul dari Johan, tetanggaku yang berumur satu tahun lebih tua. Waktu itu aku masih SMA dan cukup akrab dengan Johan yang sudah menjadi mahasiswa. Selain karena sering membantuku mengerjakan tugas sekolah, ia juga sudah menganggapku sebagai adik perempuannya sendiri. Ia sering bercerita tentang masalah pribadinya, termasuk masalah percintaan dan masalah orangtuanya yang sering bertengkar. Namun tak ada satu pun cerita Johan yang begitu aneh, seaneh ceritanya tentang sebuah mimpi yang ia alami pada suatu malam.

“Ada perempuan yang mati dalam mimpiku,” ucapnya ketika aku sedang berkunjung ke kampusnya untuk mengembalikan sebuah buku.

Dalam mimpinya itu, ia menjadi seorang perempuan, seorang kembang desa yang layu karena kekasihnya tewas dibunuh sehari sebelum hari pernikahan mereka. Menurutnya, seluruh kehidupan bertahun-tahun sebagai perempuan itu ia impikan hanya dalam satu malam. Mulai dari masa kecilnya, masa remajanya, hingga saat ia mati bunuh diri. Mungkin benar bahwa dimensi waktu di dunia mimpi memiliki ukuran yang berbeda dengan dunia nyata.

Semakin lama, ceritanya menjadi semakin detail, seolah ia sedang menceritakan masa lalunya sendiri. Ketika menceritakan pertemuan dengan kekasihnya, Johan tampak seperti gadis yang sedang jatuh cinta; matanya berbinar-binar, senyumnya mengembang, bahkan mungkin ada sedikit rona merah di wajahnya. Aku tahu dia laki-laki normal, karena itulah ekspresinya membuatku ngeri. Lalu ia bercerita bahwa kekasihnya dalam mimpi itu ditemukan tewas bersimbah darah di tepi sungai. Pelakunya adalah laki-laki lain yang cemburu dengan hubungan mereka. Katanya, ia masih ingat rasa racun yang ia minum di depan kuburan kekasihnya. Ia masih bisa merasakan tenggorokannya yang tercekik, matanya yang panas, dan pipinya yang ambruk menghantam tanah bertabur kembang. Setelah itu, ia pun terbangun dari mimpinya.

“Namaku dalam mimpi itu adalah Nurul Romayani,” ujarnya.

Awalnya, aku tidak terlalu menganggap serius mimpi Johan. Bagiku, itu hanyalah sebuah mimpi berkesan yang cepat atau lambat akan ia lupakan juga. Namun sejak saat itu, aku menyaksikan perubahan dalam diri Johan.

“Sampai saat ini, aku masih mengira bahwa aku adalah Nurul Romayani,” ujarnya dengan napas terngah-engah. Saat itu ia baru saja menjerit karena melihat wajah perempuan dengan mulut berbusa saat bercermin. Aku mulai curiga bahwa mimpi itu bukanlah mimpi biasa.

Johan sering melamun dan menangis sendiri. Ia menghindar setiap kali aku mengajaknya bicara, bahkan berhenti kuliah tanpa alasan. Menurut orang tuanya, suhu tubuh Johan meningkat tinggi dan ia sempat jatuh koma selama satu hari. Setelah pulang dari rumah sakit, ia sudah tidak bisa diajak berkomunikasi lagi.

Suatu malam, saat aku pulang dari berbelanja di supermarket 24 jam, aku melihat seseorang sedang berjalan terhuyung-huyung di perempatan jalan. Awalnya aku tak mengenalinya, tapi ketika wajah kami berdekatan, aku yakin bahwa itu adalah Johan. Ia mengenakan daster putih kebesaran yang mungkin ia curi dari lemari ibunya, sementara rambutnya dibiarkan panjang hingga sepundak. Kupikir mungkin karena kondisi mentalnya yang tidak stabil, ia jadi tak mempedulikan penampilan. Namun anehnya, aku tak dapat melihat kumis atau jenggot di wajahnya, seolah ia mencukurnya setiap hari. Ketika kuamati lebih dekat, bibirnya terlihat lebih merah dari biasanya.

Aku mencoba mengajaknya bicara, tapi ia tampak linglung, matanya mengamatiku seperti melihat orang yang baru ia kenal. Lalu yang keluar dari mulutnya bukanlah sebuah jawaban, bukan pula kata-kata yang dapat kupahami. Ada jeritan yang meluncur dari mulutnya, dan jeritan itu pun terdengar seperti suara perempuan. Sekujur tubuhku merinding mendengar suara itu, kakiku terpaku di tanah. Johan–atau lebih tepatnya Nurul Romayani–berlari meninggalkanku dengan jeritan yang semakin lama semakin panjang, lalu menjelma menjadi tangisan yang menggema di ujung jalan.

Beberapa bulan kemudian, aku lulus SMA dan pindah ke luar kota untuk berkuliah. Aku sempat ingin menemui Johan sebelum pindah, tapi orangtuanya melarang. Mereka bilang Johan sudah tidak mengenali siapa-siapa lagi. Ia seperti orang yang kerasukan hantu. Lebih tepatnya, hantu dari orang yang mati di dalam mimpinya.

Nurul Romayani kali ini tidak kabur. Ia duduk di hadapanku, menatapku beberapa detik, lalu menunduk. Aku bukanlah kekasih yang ia cari. Entah ada di mana laki-laki itu. Mungkinkah ada orang lain yang memimpikan kematian kekasih Nurul, dan kini juga sedang dirasuki? Mungkin satu-satunya cara untuk membahagiakan Nurul adalah mempertemukannya dengan orang yang sedang dirasuki kekasihnya itu. Itu pun kalau teoriku benar.

Aku memberanikan diri untuk menyentuh wajah Nurul Romayani, lalu mengangkatnya ke atas agar aku dapat melihatnya lagi. Wajahnya sangat halus, matanya bulat dan indah, tak ada sedikit pun sisa-sisa Johan yang pernah kukenal. Bila Nurul pindah ke dunia ini setelah mati, lalu ke manakah Johan pergi?

Malam itu aku pulang ke rumah orangtuaku, menyantap masakan Ibu dan menemani Ayah menonton pertandingan sepak bola. Kami sempat membicarakan tentang Nurul Romayani, tentang Johan, dan tentang kedua orangtua Johan yang mulai bisa mengikhlaskan kondisi anak laki-lakinya itu. Menurut Ibu, orangtua Johan kini tak pernah bertengkar lagi dan sudah menganggap Nurul sebagai anaknya sendiri. Lagipula, katanya, ibu Johan memang pernah menginginkan anak perempuan.

Aku tidur di kamarku yang sudah lama tak ditiduri, lalu aku bermimpi. Aku bermimpi menjadi seorang laki-laki. Laki-laki itu, atau lebih tepatnya aku, membunuh seseorang di tepi sungai. Aku menikamnya dengan pisau dapur dan melempar senjata itu ke dalam sungai. Aku berlari, bersembunyi, dan ketakutan setengah mati, hingga akhirnya sekelompok orang berhasil menemukanku. Mereka menghajarku, menginjak-injak tubuhku, membuat tulang rusukku terasa remuk. Aku mendengar sirine mobil polisi di kejauhan, tapi semuanya sudah menjadi gelap. Kemudian aku terbangun.

Selama beberapa hari berikutnya, aku berusaha melupakan mimpi itu. Namun suaraku menjadi berat, berat badanku bertambah, dan kumis tipis tumbuh lebih cepat di wajahku yang biasanya mulus tanpa rambut. Rasa takut menghantam kesadaranku. Setiap malam aku menggigil mengingat mimpi itu. Aku dalam mimpi itu adalah seorang lelaki malang yang salah jalan karena kecemburuan.

Ketika beberapa hari kemudian aku bertemu kembali dengan Nurul Romayani, aku merasakan sensasi yang berbeda. Waktu itu adalah malam selepas Isya, kami berpapasan di tengah jalan, dan Nurul Romayani tidak lagi menunduk malu setelah menatapku. Ia melotot dan mengepalkan tangan. Lewat tatapan itu, aku baru mengerti bahwa selama ini wajah yang ia cari-cari bukanlah wajah kekasihnya.

Leave a Comment