Hai, sebut saja namaku Kevin.
Pernahkah kau mendengar cerita gorong-gorong bawah tanah peninggalan Belanda di kota mu? Sebuah got bawah tanah besar yang katanya sudah tak pernah di jamah bertahun-tahun sejak kemenangan leluhur kita. Gorong-gorong itu panjang lurus dan terhubung dengan tempat-tempat tertentu untuk pelarian dan persembunyian. Salah satu tempat itu adalah SMAK ku. Bagi pembaca yang merasa tidak pernah mendengar cerita itu selamat, berarti itu bukan kota mu. Jika iya aku harap kalian tidak mencoba mencarinya. Karena bisa aku bilang, useless dan kalo bahasa sini itu plaur. Yah, mungkin tulisan ini bisa dibilang peringatan. Jangan coba kesana. Masih kepo? Ok, semoga pengalamanku dengan sahabat baruku Joseph (bukan nama asli) mampu menambal rasa kepo kalian.

Hari senin itu pertama orientasi siswa, aku duduk disamping sahabat ku tadi. Kami berbincang sesaat, mengetahui bahwa kami sama-sama menyukai misteri dan horor membuat kita akrab seketika. Walaupun kelompok mos kami berbeda. Selang satu minggu, kami makan bareng di kantin. Joseph membuka obrolan tentang gorong-gorong itu. Dia bilang diceritain sama neneknya. Rasa penasaran kami pun tumbuh beserta semangat petualangan membara membuat kami merencakan pencarian pada hari sabtu yang berbarengan acara ekstrakulikuler di sekolah sampai menginap. Kami memang tidak ikut ekstra tersebut tapi itulah alasan yang kami bilang kepada satpam untuk alasan masuk.

Sekolah kami gak bisa dibilang luas. Setidaknya ada tempat parkir mobil luas di depan, gedung berlantai 2 berbentuk U dan lapangan di tengah pojok gedung. Jam menunjuk pukul 10 malam. Para senior dan junior sedang berkumpul di lapangan. Kami mengendap melalui lorong dan berhenti di tangga sebelah utara untuk mengecek ulang barang kami di tas. Konon untuk mencari jalan masuknya kita harus mengikuti lantai berdarah. Mungkin itu alasan ubinnya diganti warna merah. Agar murid tidak akan melihat saat darah itu ada di lantai. Hal ini tentu menyulitkan pencarian. Senter, minum botol, tali tampar, HP sudah lengkap kami pun mulai berjalan pelan, menyeritkan dahi pandangan kekanan kekiri seperti orang membaca.

Tak satupun ubin yang terlewat perhatian kami. Hanya diam, mengamati tiap ubin didepan dan akhirnya, terlihat adanya genangan air 2 meter didepan. Kami mendekat untuk memastikan. Yak, itu adalah merah darah. Aku melihat keatas, tidak ada bekas tetesan di atap. Beberapa meter dari kami, mulai keluar genangan kecil baru. Seperti air bocor PDAM yang keluar dari tanah. Pelan, merah kental dan semakin melebar. Kami hanya terdiam kaku, melihat satu sama lain dengan gemetar. Joseph mencoba meraih lenganku. Genangan didepan kami mulai menyusut hilang. “ee.. A..”, ku dengan suara Joseph hendak berteriak dengan cepat tangan kanan ku menutup mulutnya. Bisa kurasakan kuatnya hembusan nafas Joseph melewati punggung tanganku. Dengan sedikit berbisik ku bilang padanya “Ayo kita ikuti, selagi jam segini”. Dia hanya mengangguk kecil beberapa kali. Kau tahu? Aku masih merinding saat menulis ini, mengingat arah darah itu menuju gudang di ujung gedung, dengan lampu yang berkedip-kedip. Siapa tahu apa yang menunggu di kegelapan sana ha? Meskipun masih terdengar ramainya suara kegiatan jauh disebelah kiri kami, itu tidak mampu mengusir aura menakutkan ujung lorong ini.

Ku coba mengusir imajinasi liar ku tentang adanya penampakan tiba-tiba dengan mengingat adegan ketika anak kucing ku saling berkelahi. “Klik! Klik!” jentikan jari Joseph membuyarkan lamunanku. Dia menujuk lemari di ujung lorong. “Darah tadi melewati bawah sana”, dia berbicara pelan. Aku gak ngerti kenapa lemari bagus ini ditaruh di sini. Sungguh sayang dibiarkan berdebu. Kami menggesernya dan terlihat ada retakan lumayan besar pada tembok. Bukan hanya retakan ternyata, Joseph bisa menarik bongkahan tembok dan membuat lubang yang setidak nya muat untuk kami merangkat kedalam. Aku menyalakan senterku, hanya terlihat lubang kotak kebawah dengan tangga besi yang sudah karatan. Kami mengambil suit. Sialnya aku harus turun duluan. Suara decitan besi akibat diriku gemetar mulai semakin menggema ketika aku semakin kebawah. Aku tahu, kalian mungkin berpikir kami adalah orang pemberani. But no, dinginnya hawa malam itu masih menembus jaket hitam kami menambah rasa ngeri. Berharap arti bulu kuduk merinding ini bukan arti adanya penampakan yang tiba-tiba muncul di depan kami.

“Pyaak” suara kakiku menginjak genangan air setinggi mata kaki. Ku arahkan senterku kepenjuru arah sambil menunggu Joseph turun. Mengecewakan, kukira bakal gede seperti yang kalian juga bayangkan. Hanya lingkaran bediameter 3 – 4 meter mungkin.
“Lama banget sih kamu Jos?”, tanyaku dengan mendengus.
“Bentar, tas ku nyangkut baut neh”, jawabnya.
Gema perbincangan kami terpecah oleh suara percikan air bertubi-tubi dencan cepat dibelakang ku. Seketika itu ku arahkan senterku. Tidak terlihat apa-apa.
“Kau dengar itu?”, tanyaku.
Tak ada jawaban. Ku toleh keatas. Dia sedang menggigit tali tasnya yang tersangkut, kemudian dia menjawab, “Ha? Dengar apaan emang?”
“Suara…”
“LARIII….!!” teriak suara perempuan. Oh ternyata itu suara gerombolan 3 orang lari. Ke arahku. “LAriii..!” suaranya menggema dalam. Dia menyuruhku? Aku tak percaya ternyata ada orang lain yang juga mencari tempat ini. Dia dan 2 Laki-laki.

“Jos… ada yang gak beres.” “Jos….”
Gerombolan itu melewatiku dan perempuan itu mencengkeram erat pundak ku. Rambutnya terurai sebahu dan memakai kaos yang lusuh. “Mas, lari! Cepat!”. Suaranya lirih
sekali hampir tidak terjadi gema.
“Ke.. kenapa mbak?”
“Ngaaaaaaaaaaaaa…..”. Terdengar suara pekikan seperti suara wanita yang menjerit sampai suaranya mau habis dari arah mereka lari.
“Masa bodo lah mas mau lari apa tidak”, dia berlari menyusul temannya.
“Ngaaaaaaaaaaaaaaaa”. Sial suara itu semakin dekat.
“Jos..! Jangan turun!”, teriakku sambil berlari mengejar gerombolan tadi.
Ku terus berlari dan berlari di belakang mereka. Sesekali perempuan tadi menoleh kearahku. Keringatku mengalir semakin deras. Detak jantungku semakin tidak beraturan dan sulit sekali untuk bernafas. Sempat terpikir untuk berhenti sejenak. Kuperlambat lariku. “Hei! Cepat!”, perempuan tadi menyahut.

Kumenoleh kebelakang tidak terlihat apa-apa. “Jangan melihat kebelakang, mas!”, seru perempuan itu. Kemudian, aku terkejut ketika melihat kebawah. Aku melangkahi sebuah mayat pemuda laki-laki terkapar, dan mayat lagi setelahnya. Mayat kedua hampir hampir terpotong menjadi dua dibagian perutnya serta kepalanya terputar kebelakang. Aku hanya bisa menelan ludah, dan mempercepat lariku didepan mereka.
“A.. a.. aku melihat.. mayat”, suaraku tersengal-sengal.
“Ya, kami tau”, jawab perempuan itu dengan tenang. Dia disebelah kananku sekarang.
Kemudian lelaki belakangnya terjatuh. Lelaki satunya berhenti membantu mengangkat dia.
“Jiwo, jangan!”, seru perempuan itu lirih. Mengisyaratkan kami untuk terus berlari dan meninggalkannya. Namun lelaki itu tetap berusaha menggendong temannya. Dia hanya menggerutu sambil menarik tanganku terus berlari. “Aaaaarrrg….” Jeritan kedua lelaki tadi terdengar keras sekali. Seperti menahan rasa sakit yang luar biasa. Entah makhluk apa itu yang pasti dia membunuh mereka berdua. Gila.

Suasana menjadi sunyi sesaat sampai suara pekikan makhluk itu terdengar sekali lagi. Kencang sekali seperti ada dibelakangku saat ini. Tapi dia menamparku ketika aku mencoba menoleh kebelakang sambil menggelengkan kepalanya. “Jangan”. “Pernah mendengar mitos suara hantu mas?”, dia meneruskan, “Jika suaranya kencang dan keras berarti dia jauh, jika suaranya kecil berarti dia dekat dengan kita” Well, dia bercerita dengan suara lirihnya yang terkesan imut menurutku. Tenggorokan ku mulai kering dan kakiku mulai pegal. Sampai kapan terowongan ini? Teriaku dalam hati. Aku sungguh tidak kuat lagi. Perempuan itu menunjuk sebuah tangga didepan. Aku mengambil nafas dalam. Segera kuraih gagang tangga berkarat dan naik. Terimakasih Tuhan, akhirnya. Dia mengikutiku dari bawah dan baru kusadari dia memakai rok. Mungkin itu alasannya dia membiarkanku naik duluan. Aku pun sudah diatas dan menyalurkan tanganku padanya. Dia meraihku, namun sayang. Seperti kegelapan didasar sana menarik kaki perempuan itu. Kucoba untuk tidak melepas genggaman tangannya yang dingin. Kutarik dengan sekuat tenaga.

“Plis mbak, jangan sampe lepas. Tahan.”
Dia mulai mengerang kesakitan, dan hampir saja aku jatuh kedasar. Kulihat dia tersenyum dalam kegelapan. “Selamatkan dirimu sendiri, dan berjanjilah jangan melihat kebelakang”. Suara itu masih terngiang jelas sampai sekarang. Dia melepas genggamannya dan terjatuh kedasar kegelapan gorong-gorong. Oh tidak, jangan begini. Apa? Aku menangis? Memang siapa dia, tahu namanya saja tidak. Aku tahu siapa dia. Dia adalah penyelamatku. Dia mengorbankan dirinya agar aku tidak ikut terjatuh. Mereka bertiga tidak selamat. Aku hanya duduk diam terisak, meratap sunyi.
“LARIII….!!” teriak perempuan itu dari bawah. Lantang dan menggema. Sentakan suaranya mampu membuatku berdiri dan mencari jalan keluar. Terlihat sebuah lubang. Aku merangkat keluar dan terlentang lega aku sudah selamat. Segera kuraih botol minumku dan kuteguk sampai habis. Kulihat sekeliling. Tidak mungkin!. Ku tampar diriku berulangkali dan tetap sama. Aku kembali ke pojok gedung sekolahku. Dengan nafasku yang mulai tidak beraturan lagi, ku mencoba menenangkan diriku dari hal tak masuk akal ini. Satu halpun terlintas dipikiranku. Joseph. Dia tidak ada. Mungkin dia mencari bantuan satpam. Ku berlari menyusuri lorong menuju depan. Di tidak ada disana. Aku kembali kedalam, mungkin dia dikamar mandi dan langkahku terhenti oleh sahutan joseph dari lorong utara.

“Psst.. hey Kevin!”
“Dari mana kau?”
“Gak penting, sekarang ayo pulang. Kita bahas hari senin waktu istirahat.”
Kami hanya diam, tanpa ada kata ataupun saling tatap dan berpisah pulang dengan motor masing-masing.

Seninnya, Joseph mengajakku melihat lemari penghalang lubang kemarin karena kami lupa untuk menutupnya. Ternyata lemari itu kembali ketempat semula. Kami coba geser untuk menengok bekas lubang yang kami buat. Namun tidak ada lubang, retakan bahkan serpihan pun tidak ada. Pasti sudah dibereskan pihak sekolah. Kami mengambil langkah seribu menuju lapangan.
“Aku kemarin bertem.”
“Kenapa kamu lari kemarin?!”, Joseph memotong dan tatapannya penuh amarah.
“Aku diajak gerombolan pemuda. Mereka dikejar sesuatu dari belakang. Jadi aku lari lah”.
“Bajingan, kau meninggalkanku sendirian. Sialan kamu! Untung saja ada perempuan yang menolongku.”
“Perempuan? Apa dia bersuara lirih?”
“ya, rambutnya sebahu..”
“Sial”. Aku mengusap-usap wajah ku. Joseph yang terhenti berbicara terlihat mengerutkan dahinya. Kemudian wajahnya berubah menjadi serius dan berkata,
“Lebih baik jangan kita ungkit lagi masalah ini. Lupain aja kita pernah pergi kesana.”
Aku mengangguk mengerti. Bel istirahat selesai berbunyi dan kami berjalan menuju kelas. Bisa kulihat sebuah penyesalan, bingung dan takut dari wajah Joseph. Seperti yang aku rasakan sekarang. Apakah perempuan dan 2 lelaki kemarin itu adalah arwah penyelamat kami? Jika iya, dimanakah mayat perempuan itu tergeletak? Yang pasti aku bakal merindukan suara lirih imut perempuan itu.

Spoiler

So, tulisan ini bertujuan agar kalian tidak ikut mencarinya juga. Mungkin itu alasan belum ada ceritanya di internet. Karena mungkin gak ada yg bisa keluar kembali. Sepertinya mereka menyelamatkanku agar aku bisa menulis tulisan peringatan ini. Jadi berhentilah mencari.
NB: Hei, Jangan menoleh kebelakang.

Leave a Comment