Robin menarik kursinya dan menatap piring yang terisi penuh. Ini pertama kalinya ia mencicipi hidangan yang dimasak oleh Gita. Menunya sederhana saja hanya telur mata sapi dengan sepasang sosis yang digoreng dengan sedikit minyak di wajan datar. Mengapa sederhana? Karena hanya itu yang Gita bisa.

“Bagaimana, enak?”

“Seharusnya kamu nggak usah repot-repot masak, kan soto ayam sisa pesta kemarin masih sisa satu panci. Tinggal diangetin saja”

Gita mengernitkan dahi mendengar reaksi Robin yang tidak sesuai harapannya.

“Kalau nggak suka bilang saja.”

“Suka, telur mata sapi buatanmu enak kok, garam dan mericanya pas. Tapi nggak logis saja, masih banyak makanan mengapa harus masak yang baru?”

“Jadi harus logis ya?”

“Ya.”

“Mengapa harus logis?”

“Untuk menghasilkan kesimpulan dan keputusan terbaik?”

“Lalu bagaimana dengan cinta?”

“Cinta datangnya dari hati dan dinilai pakai otak.”

“Mengapa harus dinilai pakai otak?”

“Agar tidak sembarangan mencintai. Kalau jatuh cinta dengan orang yang salah akibatnya bisa fatal. Tidak cuma harta tapi nyawapun bisa melayang.”

“Lalu kenapa mencintaiku?”

“Selain karena dorongan hati, berdasarkan pertimbangan rasionalku menikah denganmu itu menguntungkan lo Git. Kamu cantik, pinter, keibuan dan baik hati.”

Gita berdiri dalam diam. Suaminya bangkit mengecup keningnya dan berangkat bekerja. Ia berpikir yang dikatakan suaminya benar juga, tetapi Gita merasa ada yang aneh….karena alasan suaminya mencintai dirinya berbanding terbalik dengan alasan mengapa ia mencintai suaminya.

Setibanya di perusahaan Robin nyaris tak sempat masuk ke ke kantor, setelah memeriksa kondisi yang memang baik-baik saja ia keluar dan mengadakan janji temu dengan 5 klien berbeda. Klien satu sampai empat bapak-bapak berusia setengah baya, 2 orang ingin menjadi supplier, 2 orang ingin jadi distributor. Keempat-empatnya gagal mencapai kesepakatan. Tetapi tidak dengan janji temu kelima.

“Hi Rob.”

“Donna? Wah lama tidak ketemu.”

Donna teman SMU Robin, masih tetap secantik dulu bahkan sekarang tampak lebih tinggi dan menonjol. Di cafetempatnya bertemu hampir semua laki-laki menengok ke arahnya ketika gadis itu masuk dan mendekati meja Robin.

“Iya, jadwal syuting padat banget nih. Tetapi gara-gara jadwal syuting yang padat itu aku kemarin nelpon skretarismu dan buat janji temu sekarang ini”

“Maksudmu honor syuting mau kamu investasikan di usaha aku?”

“Tepat.”

“Kalau begitu ini laporan keuangan usaha aku, silahkan lihat NPV dan IRR-nya.”

Kata Robin sambil menunjukkan file di handphone-nya.

“Nggak usah lah aku percaya kok usaha kamu profitable. Oh ya ini kartu nama aku.”

Tak lama kemudian Donna pun melenggang pergi meninggalkan cafe itu meninggalkan Robin yang tenggelam dalam pemikiran. Kalau satu saja enak, dua pasti lebih menyenangkan. Punya dua mobil lebih baik daripada punya satu mobil, punya dua rumah lebih kaya daripada hanya punya satu rumah. Punya dua istri ?

Robin tersenyum dan mengamat-amati nomor telepon dan alamat yang tertera pada kartu nama di genggamannya. Keesokan harinya sepulang kerja Robin menghubungi Donna.

“Hi Donna.”

“Hi”

“Boleh nggak aku mampir ke rumah?”

“Boleh banget.”

Hal ini berlangsung terus-menerus. Hingga suatu ketika Robin tidak pulang sampai pagi.

“Kok tumben Mas semalam nggak pulang?”

“Tapi kan pagi ini sudah pulang, ada kabar gembira nih.”

“Kabar gembira?”

“Kerjaan kamu ngurusin aku jadi lebih ringan.”

“Mas mau nyari pembantu buat kerja di rumah kita?”

“Ya pembantu gantinya Mbok Darmi sudah aku hubungi tapi bukan itu yang aku maksud.”

“Jadi bukan pembantu baru?”

“Bukan, tapi istri baru.”

“Mas nggak bercanda kan?”

“Tentu tidak.”

“Tapi kan baru saja minggu lalu kita mengadakan resepsi pernikahan, kok tega-teganya sekarang Mas bilang mau kimpoi lagi?”

“Makanya jangan cuma pakai hati, tapi pakai otak juga. Pernikahan ini menguntungkan tidak cuma bagiku tapi bagi kamu juga. Kalau aku nikah sama dia, dijamin kita tidak akan jatuh miskin. Kamu kan tahu dunia wirausaha itu risikonya besar nah kalau sewaktu-waktu usahaku bangkrut masih bisa pakai uang istri baruku ini untuk bangkit lagi. Gimana, logis kan?”

Gita berkata

“Saya serahkan semuanya sama yang di atas.”

Robin keluar rumah lalu mengendari mobilnya menuju toko emas. Ia hendak melamar Donna dan untuk melamar tentu dibutuhkan cincin. Harus cincin yang bagus karena Donna publik figur. Bolehlah harganya mahal sedikit.

Diluar toko emas berdiri seorang kakek yang terus berteriak-teriak. Kakek itu memegang karton yang bertuliskan kalau berani boleh coba.

“Saudara-saudara, Oh Mas yang disana.”

“Saya?”

“Ya”

Robin pun mendekat

“Ada apa Kek.”

“Saya dalam perjalanan dan sedang mengumpulkan ongkos untuk naik bus antar kota. Saya tidak punya uang tetapi saya punya pusaka. Ini antik harganya mahal, pernah dipakai prajurit Pajang yang ikut berperang bersama Sutawijaya.”

“Kenapa tidak dijual saja atau digadaikan?”

Tanya Robin

“Awalnya saya juga berpikir begitu, tetapi muncul gagasan yang lebih baik di benak saya.”

“Gagasan apa kek?”

“Bagaimana kalau saya menantang Mas berkelahi? Kalau saya menang Mas harus bayar 200 ribu, cukup untuk saya beli tiket bus, tetapi kalau saya kalah keris yang harganya milyaran ini menjadi milik Mas bagaimana?”

“Tidak logis, kakek sudah tua sedangkan saya lebih muda. Kakek pasti kalah.”

“Kemarin ada juga anak muda yang sombong seperti Mas, saya pukul sekali langsung jadi goblok tiada tandingan.”

“Sudahlah kek, jangan membual untuk menakut-nakuti.”

“Kalau tidak takut buktikan dong jangan cuma ngomong saja.”

“Baik. Ayo kita mulai.”

“Marilah anak muda.”

Robin memasang kuda-kuda. Ini menguntungkan dan pasti mudah sekali. Bayar 200 ribu dapat milyaran. Maka tanpa membuang waktu Robin langsung melompat dan memukul kakek itu. Tetapi dengan tenang sang kakek menangkap pergelanagn tangan Robin dan mempergunakan tenaga anak muda itu sendiri untuk menjatuhkannya.

BRAK

Kepala Robin terbentur hidran dan iapun tak sadarkan diri. Gita menyusulnya ke rumah sakit bersama dengan Donna.

“Jadi Robin sudah punya istri. Maaf Mbak saya tidak tahu.”

“Sudahlah, bukan salah Mbak Donna.”

“Ya memang salah oknum laki-laki yang membohongi kita itu.”

“Saya harap Mbak tidak menghina suami saya.”

“Mbak masih menganggapnya suami?”

“Masih.”

“Bahkan setelah mendengar keterangan dokter tadi?”

“Ya”

Dokter mengatakan Robin menderita kerusakan otak. Kini pria itu hanya mampu berpikir seperti anak lima tahun berpikir. Seluruh kecerdasannya, segala logika dan rasionalitas yang menjadi pegangan hidupnya seolah diambil kembali tanpa sisa oleh Pemilik Segala Kecerdasan.

“Mengapa Mbak?”

“Karena saya mencintainya.”

“Maksud Donna, mengapa Mbak mencintainya? Kan tidak ada untungnya, ingat Mbak Gita masih muda, cantik dan di bumi ini laki-laki yang lebih baik dari Robin jumlahnya milyaran.”

“Cinta saya tidak perlu alasan, tidak bersyarat dan tidak mengenal untung rugi. Saya mencintai Mas Robin karena dia Mas Robin, pria lain yang milyaran itu buat Mbak Donna saja. Permisi.”

Katanya sambil berjalan di koridor meninggalkan Donna yang berdiri keheranan. Sejak dulu beginilah cinta, keanehannya takkan pernah berakhir.

3 Thoughts to “What The Brain Can’t Do”

  1. viagra web sites viagra online cheap carvedilol and viagra

  2. Estimado Astrid, muchas gracias por sus bonitas palabras. Anastassia Ernesto Had Katalin Hamlen Hike

  3. Hello, this weekend is fastidious in support of me, for the reason that this point in time i am reading this great informative post here at my home. Mariam Bone Vivyanne

Leave a Comment